Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Aspek Hukum Pinjam Barang Tanpa Izin yang dibuat oleh Saufa Ata Taqiyya, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 13 Agustus 2020.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Berdasarkan pertanyaan Anda, apa yang teman Anda lakukan tersebut dapat dikategorikan sebagai besit dalam hukum perdata.
Besit diartikan sebagai kedudukan menguasai atau menikmati suatu barang yang ada dalam kekuasaan seseorang secara pribadi atau dengan perantaraan orang lain, seakan-akan barang itu miliknya. Hal ini berdasarkan Pasal 529 KUH Perdata yang berbunyi:
Yang dimaksud dengan besit adalah kedudukan menguasai atau menikmati suatu barang yang ada dalam kekuasaan seseorang secara pribadi atau dengan perantaraan orang lain, seakan-akan barang itu miliknya sendiri.
Besit dibagi menjadi 2, yaitu:[1]
Berdasarkan penjelasan Anda, dikarenakan teman Anda berniat untuk meminjam, namun tanpa izin dan ia mengetahui bahwa barang tersebut milik Anda, perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai besit dengan iktikad buruk.
Sebagai pemegang hak milik atas barang, Anda mempunyai hak untuk menuntut teman Anda supaya mengembalikannya dalam keadaan sebagaimana adanya.[4]
Selain hak untuk menuntut pengembalian sebagaimana yang kami jelaskan di atas, Anda juga berhak atas hal-hal berikut ini dari teman Anda:[5]
Perbuatan teman Anda dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian apabila terbukti memenuhi unsur-unsur pasal pencurian yang diatur dalam ketentuan KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[6] yakni pada tahun 2026 sebagai berikut.
Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu.[7]
Setiap orang yang mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, dipidana karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V yaitu Rp500 juta.[8]
Selanjutnya, mengutip pendapat R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 249 – 250), unsur-unsur tindak pidana pencurian dalam Pasal 362 KUHP adalah:
Adapun menurut Penjelasan Pasal 476 UU 1/2023 yang dimaksud “mengambil” tidak hanya diartikan secara fisik, tetapi juga meliputi bentuk perbuatan mengambil lainnya secara fungsional atau nonfisik mengarah pada maksud “memiliki barang orang lain secara melawan hukum”. Sedangkan yang dimaksud dengan “dimiliki” adalah mempunyai hak atas barang tersebut.
Dalam kasus Anda, untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan pencurian, teman Anda harus memenuhi unsur pasal di atas, secara khusus, unsur maksud untuk memiliki barang tersebut.
Sebagaimana ditegaskan oleh R. Soesilo, maksud atau niat untuk memiliki barang juga harus dibuktikan dalam pembuktian tindak pidana pencurian. Jika teman Anda terbukti tidak memiliki niat untuk memiliki ketika meminjam barang tersebut tanpa izin, maka tidak dapat dikategorikan sebagai pencurian.
Sebagai contoh, kami merujuk pada Putusan PN Simalungun Nomor 195/Pid.Sus/2013/PN.SIM.
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, dapat dikemukakan bahwa telah terjadi pencurian di warung internet yang dilakukan oleh terdakwa terhadap 1 unit sepeda motor milik saksi korban (hal. 8).
Bahwa cara terdakwa melakukan perbuatan itu adalah dengan meminjam sepeda motor itu kepada saksi korban, namun terdakwa mengambil sepeda motor tersebut seolah-olah sudah minta izin dari saksi korban padahal terdakwa tidak ada izin dari saksi korban untuk mengambil sepeda motor tersebut. Tujuan terdakwa melakukan pencurian sepeda motor tersebut adalah untuk dibawa ke rumah temannya dengan tujuan agar terdakwa dapat menukarkan mesin sepeda motor terdakwa dengan sepeda motor saksi korban (hal. 8).
Akibat kejadian tersebut saksi korban mengalami kerugian berupa 1 unit sepeda motor yang ditaksir seharga Rp15 juta (hal. 8).
Unsur “dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum”, dapat diartikan bahwa seseorang dalam memperoleh atau mengambil barang itu telah dengan sengaja tanpa izin dan sepengetahuan orang lain atau bukan atas perintah yang berwenang untuk itu dan dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum dan norma-norma kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, memiliki suatu barang/benda dengan atau tanpa hak (hal. 8-9).
Pengadilan menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana pencurian dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 1 bulan dan 22 hari (hal. 10).
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Demikian jawaban dari kami tentang hukum meminjam barang orang tanpa izin, semoga bermanfaat.
Putusan Pengadilan Negeri Simalungun Nomor 195/Pid.Sus/2013/PN.SIM.
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991.
[2] Pasal 531 KUH Perdata
[3] Pasal 532 KUH Perdata
[4] Pasal 574 KUH Perdata
[5] Pasal 579 KUH Perdata
[8] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023
Pendapat ketiga menyebutkan wanita menikah beberapa kali kelak akan berpasangan dengan suami terakhirnya di akhirat. As Sya'rani menyebutkan dasar pandangan ini adalah riwayat dari Hudzaifah Ibnul Yaman.
"Hudzaifah Ibnul Yaman mengatakan kepada istrinya, 'Jika kau ingin aku menjadi suamimu di surga, jangan kau menikah sepeninggalku karena perempuan di surga adalah bagian dari suami terakhirnya di dunia'."
Juga terdapat hadis dari Rasulullah Muhammad SAW yang menjelaskan pandangan ini. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi.
Perempuan yang ditinggal mati suaminya, lalu menikah lagi sepeninggal suaminya, maka ia (di akhirat) adalah bagian dari suami terakhirnya di dunia.
Sedangkan pandangan keempat, menyebut wanita menikah beberapa kali akan berpasangan dengan pria yang paling baik akhlaknya ketika di akhirat kelak.
Dasar pandangan ini adalah hadis riwayat Imam Thabrani dan Al Bazzar dari Ummu Habibah yang pernah bertanya kepada Rasulullah SAW.
Ummu Habibah bertanya kepada Rasulullah, "Ya Rasul, seorang perempuan memiliki dua suami di dunia. Keduanya wafat dan berkumpul di akhirat. Siapakah yang akan menjadi suami perempuan itu?" Rasul menjawab, "Perempuan itu akan menjadi istri laki-laki yang paling baik akhlaknya terhadap perempuan itu saat di dunia." Rasul kemudian melanjutkan, "Wahai Ummu Habibah, laki-laki dengan akhlak yang baik pergi membawa kebaikan dunia dan akhirat."
darulmaarif.net – Indramayu, 01 Juli 2024 | 08.00 WIB
Ramai jadi sorotan berita, ribuan istri di Pemalang Jawa Tengah gugat cerai suami lantaran kurang uang nafkah. Pengajuan gugatan cerai tersebut didominasi oleh persoalan ekonomi seperti kurangnya pemberian nafkah suami kepada keluarga.
Menurut laman tvonenews.com, Humas Pengadilan Agama Kelas I A Pemalang Sobirin menyebutkan bahwa dari 1.894 pengajuan perceraian yang diajukan didominasi yang diajukan istri atau cerai gugat sebanyak 1.516 perkara.
Menanggapi persoalan demikian, bagaimana hukum istri yang menggugat cerai suaminya lantaran merasa suami kurang dalam memberi nafkah?
Sebelum menjawab persoalan diatas, kita harus tahu dulu apa itu nafkah, kewajiban nafkah suami kepada istri, dan hak istri menerima nafkah dari suami.
Secara Bahasa, kata nafkah berasal dari Bahasa arab ( نفقة ) yang berasal dari kata nafaqa dan berimbuhan hamzah anfaqa yunfiqu infak atau nafaqah. Dalam Taj al-‘Arus min Jawahir al-Qamus, Murtadlo al-Zabidi mendifinisikan nafkah adalah harta yang diberikan kepada diri sendiri atau keluarga. nafkah juga diucapkan dengan infak yang diambil dari kata yang sama nafaqa.
Dan dalam Lisanu al-‘Arab, Ibnu Manzhur menjelaskan bahwa kata nafkah atau infak merupakan sinonim kata shadaqah dan ith’am (memberi makan). Infak dinamakan shadaqah jika seseorang yang mengeluarkan hartanya dengan kejujuran (keikhlasan) dari hatinya.
Syekh Muhammad Ali Ibnu Allan dalam kitab Dalil al-Falihin li Thuruqi Riyadi al-Shahilin (penjelasan syarah kitab riyadu al-Shalihin karya Imam Nawawi dalam bab al-Nafaqah), menjelaskan nafkah sebagai segala pemberian baik berupa pakaian, harta, dan tempat tinggal kepada keluarga yang menjadi tanggungannya baik istri, anak, dan juga pembantu.
Adapun perintah memberi nafkah kepada keluarga berdasarkan dari firman Alloh Swt surat At-Thalaq berikut:
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا – ٧
Artinya: “Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Alloh kepadanya. Alloh tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Alloh kepadanya. Alloh kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (QS. At-Talaq Ayat 7)
Ayat al-Qur’an tersebut menjelaskan kewajiban seorang suami untuk memberi nafkah dalam rangka mencukupi kebutuhan keluarganya.
Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya Al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, memberi nafkah adalah kewajiban bagi seroang suami tetapi itu disesuaikan dengan kemampuan dan kadar rizkinya. Jika ia kaya maka ia menafkahi keluarganya sesuai dengan kekayaannya, tetapi jika ia miskin ia menafkahi keluarganya sesuai dengan rizkinya. Dan nafkah disesuaikan dengan kondisi yang ada yang berlaku di masyarakat setempat. Dan tidak ada yang mengetahui kadar kemampuan seseorang dalam memberi nafkah kecuali dirinya, karena itulah ia sendiri yang bisa menyesuaikan dengan kondisinya dalam memberi nafkah kepada keluarganya.
Dengan demikian, ukuran nafkah bisa berbeda-beda tergantung kondisi suami tersebut.
ونفقة الزوجة الممكنة من نفسها واجبة وهى مقدرة، اذا كان الزوج موسرا فمدان من غالب قوتها ومن الادم والكسوة ما جرت به العادة، وان كان معسرا فمد وما يتأدم به المعسرون ويكتسونه، وان كان متوسطا فمد ونصف ومن الادم والكسوة الوسط.
Artinya: “Bagi isteri yang mumakkinah (tidak Nusyuz); apabila suami kaya, dua mud dari makanan pokok si istri, dengan lauk pauk dan pakaian yang sesuai dengan adat si istri. Apabila suami miskin, satu mud dengan lauk pauk dan pakaian yang sesuai / biasa bagi miskin. Dan apabila suami pertengahan, satu mud setengah dengan lauk pauk dan pakaian yang standar dari golongan menengah.” (Imam Taqiyyudin Abu Bakr bin Muhammad, Kifayatul Akhyar, hal. 441)
Dalam Bidayatul Mujtahid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd menyebutkan sebagai berikut.
وأما مقدار النفقة فذهب مالك إلى أنها غيرمقدرة بالشرع وأن ذلك راجع إلى ما يقتضيه حال الزوج وحال الزوجة، وأن ذلك يختلف بحسب اختلاف الأمكنة والأزمنة والأحوال، وبه قال أبو حنيفة. وذهب الشافعي إلى أنها مقدرة: فعلى الموسر مدان، وعلى الأوسط مد ونصف، وعلى المعسر مد.
Artinya: “Adapun terkait ukuran nafkah, Imam Malik berpendapat bahwa kadar nafkah tidak ditentukan secara syar’i. Kadar nafkah harus merujuk pada keadaan suami dan keadaan istri yang bersangkutan. Itu pun berbeda-beda sejalan dengan perbedaan tempat, waktu, dan keadaan. Demikian pula pendapat Imam Abu Hanifah. Sedangkan Imam Syafi’i mengatakan bahwa kadar nafkah ditentukan oleh syara’. Untuk suami dengan penghasilan tinggi, wajib menafkahi istrinya sebanyak dua mud. Untuk kelas menengah, satu setengah mud. Sementara mereka yang berpenghasilan rendah, hanya satu mud setiap harinya.” (Imam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, [Beirut, Darul Fikr, 2005])
Melihat maraknya kasus gugatan cerai seorang istri kepada suami lantaran suami kurang memberi nafkah, bisa dilihat kembali kondisi suaminya. Jika suami tersebut kaya raya namun kenyataannya sang suami pelit atau kikir, istri berhak menggugat cerai suami dengan alasan kebutuhan pokok yang tidak tercukupi. Dalam buku Fatwa Kontemporer, Syekh Yusuf al-Qordhowi melihat ada tipe suami yang kikir dan pelit terhadap istrinya. ”Tidak selayaknya suami bersifat kikir dalam memberi belanja kepada istri,” urai Syekh al Qordhowi mengutip pendapat Imam Ghozali.
Adapun Syekh Umar Sulaiman al-Asyqor menambahkan ada kalanya ketiadaan pemberian nafkah itu lantaran suami memang tidak mampu, baik akibat dipecat dari pekerjaannya, atau karena menderita sakit. Mengenai hal ini, Abu Malik Kamal bin as Sayid Salim menyarankan supaya istri bisa bersabar terhadap kesusahan suaminya.
Adapun apabila kebutuhan pokok tercukupi, tapi istri meminta lebih untuk memenuhi hasrat keinginannya seperti membeli barang-barang belanjaan yang tidak menjadi kebutuhan pokok, istri tidak boleh menggugat cerai karena alasan tersebut. Dan apablia dengan kondisi suami yang memang miskin secara finansial, dan sudah mencapai batas kemampuan memberi nafkah kepada keluarga, istri haram melayangkan gugatan cerai kepada sang suami dan termasuk kategori istri yang nuzyuz.
Nabi Saw memberikan nasihat kepada para istri terkait persoalan gugatan cerai, sebagaimana hadits berikut,
قال رسول الله أيما امرأة سألت زواجها طلاقا في غير ما بأس فحرام عليها رئحة الجنة
Artinya: “Rosululloh bersabda ‘Barang siapa yang meminta talak kepada suaminya tanpa sebab yang mendesak (al-ba’s) maka haram baginya (perempuan tersebut) bau harumnya surga.’” (HR. Imam Abu Dawud)
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.
Suara.com - Ada kalanya ketika perselisihan rumah tangga sudah di atas ubun-ubun, rasa marah tidak bisa dibendung. Hingga membuat istri membantah suami lalu melontarkan ucapan yang bikin nyesek.
Marah memang merupakan rasa alamiah yang dirasakan semua manusia. Namun, dalam Islam amarah dapat dikelola agar tidak terlalu berlebihan sehingga menjadi mudarat baik bagi diri sendiri maupun pasangan. Dalam hubungan suami istri, berselisih paham merupakan hal yang wajar.
Namun, dalam perselisihan ini tidak jarang istri membantah suami. Lantas, bagaimana hukum istri membantah suami? Yuk, simak jawaban dari Buya Yahya berikut ini.
Melansir laman YouTube Al-Bahjah TV (12/10/2021), Buya Yahya menyampaikan tanggapan tentang sikap istri membantah suami yang ucapannya bikin nyesek.
Baca Juga: Jangan Sampai Menyesal, Ini 4 Kerugian dari Amarah yang Tak Terkendali
"Tabah itu ada dua macam. Yang pertama memang dia mulia, punya kesadaran bahwa dia punya keimanan. Jadi, biarpun dicaci orang, tidak akan mempengaruhi kepada dirinya. Maka dia mudah memaafkan. Berarti berangkat dari keimanan, sehingga dia tidak membantah, tidak membalas, karena di berharap kebaikan," Buya Yahya menyampaikan.
"Yang kedua, ada orang yang saat disakiti, dicaci, dia tidak bisa apa-apa karena dari awal dia sudah minder, memang merasa tidak mampu untuk melakukan itu. Saat sudah bisa dan berani membantah, dia akan melakukannya," tambah Buya Yahya.
Orang yang tabah bukan karena keimanan, tetapi karena kelemahannya, dianggap berbahaya. Di saat sudah punya kekuatan, dia bisa membantah di depan orang lain.
Buya Yahya berpesan pada para istri dalam menghadapi suami yang ucapannya bikin nyesek. Jangan sampai kesabaran istri seperti api dalam sekam, karena hal itu sangat berbahaya.
"Amarah yang disimpan akan membesar, akan menumpuk, dan meledak", ungkap Buya Yahya.
Baca Juga: Viral Emak-Emak Ketipu Beli Handuk Online, Satu Rumah Auto jadi Sasaran Amarah
"Maka jangan disimpan, tapi buang, keluarkan. Kalau ada orang yang berbuat dzolim kepadamu, tahan amarahmu, lalu keluarkan dengan memaafkan," imbuh Buya Yahya.
Maka dari itu jangan sampai memancing dan menimbun emosi sehingga istri membantah suami. Jika sampai istri atau suami mengeluarkan kata-kata atau melontarkan ucapan yang bikin nyesek maka potensi pecahnya biduk rumah tangga akan semakin besar.
Kontributor : Rishna Maulina Pratama